Rabu, 03 Juni 2009

evaluasi soal ujian PKn 2008 SMP Blora

EVALUASI SOAL UJIAN AKHIR SEKOLAH (UAS) MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKn) DALAM RELEVANSINYA DENGAN STANDAR KOMPETENSI LULUSAN (SKL), STANDAR KOMPETENSI (SK), KOMPETENSI DASAR (KD) DAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMP 1 RANDUBLATUNG KAB. BLORA TAHUN 2008

I. PENDAHULUAN

Pemberlakuan UU Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menuntut cara pandang yang berbeda tentang pelaksanaan kurikulum termasuk di dalamnya mengenai pelaksanaan evaluasi / penilaian pendidikan.

Evaluasi merupakan subsistem yang sangat penting dan sangat di butuhkan dalam setiap sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dengan evaluasi, maka maju dan mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita dapat mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah menjadi lebih baik ke depan. Tanpa evaluasi, kita tidak bisa mengetahui seberapa jauh keberhasilan siswa, dan tanpa evaluasi pula kita tidak akan ada perubahan menjadi lebih baik.

Berdasarkan uraian di atas secara umum evaluasi atau penilaian pada dasarnya adalah suatu proses sistemik umtuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program. (http//www.scribd.com.doc3846099 Manajemen Evaluasi Pendidikan, downloud 28 Maret 2009).

Evaluasi pendidikan dan pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan standar tertentu. Hasilnya diperlukan untuk membuat berbagai putusan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Evaluasi pendidikan ini perlu senantiasa dilakukan baik pada tataran makro untuk mendapatkan gambaran secara jelas mengenai perkembangan dan kemajuan pendidikan secara nasional yang harus dilakukan oleh pemerintah dan semua pengambil kebijakan mengenai pendidikan secara nasional sampai dengan pada tataran mikro yang dilakukan oleh guru untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar yang sangat diperlukan untuk menentukan dalam membuat berbagai putusan pada bidang pendidikan dan pengajaran dari masing – masing mata pelajaran.

Dalam kajian ini penulis bermaksud untuk menyuguhkan salah satu kegiatan evaluasi pendidikan yaitu mengenai evaluasi soal ujian akhir sekolah (UAS) pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam relevansinya dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMP Negeri 1 Randublatung Kabupaten Blora Tahun 2008.

Kajian ini dilaksanakan melalui studi dokumentasi terhadap semua hal terkait dengan pelaksanaan ujian akhir sekolah pada mata pelajaran PKn yang meliputi : soal – soal ujian akhir sekolah mata pelajaran PKn tahun 2008, Undang – Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar ISI, Permendiknas No. 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan, dan berbagai dokumen pendukung lainnya. Melalui berbagai data dari dokumen tersebut dikorelasikan dan dikomparasikan / dibandingkan sehingga akan dapat ditemukan relevansinya serta akan dapat disimpulkan mengenai kondisi ideal yang diharapkan dengan kondisi nyata dari penyelenggaraan pendidikan khususnya mengenai pelaksanaan ujian akhir sekolah pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP 1 Randublatung Kabupaten Blora tahun 2008.

II. PERMASALAHAN

Pada Tahun 2005 telah dikeluarkan Permendiknas No. 22 Tentang Standar Isi dan No.23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. Selain itu dikeluarkan pula Permendiknas No. 24 yang mengatur tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka mulai diterapkanlah Stándar Isi dan Stándar Kompetensi Lulusan pada beberapa sekolah di seluruh Indonesia, khususnya pada sekolah-sekolah yang telah memiliki kesiapan untuk melaksanakannya.

SMP 1 Randublatung sebagai sekolah yang telah ditetapkan sebagai sekolah standar nasional (SSN) oleh pemerintah sejak tahun 2005 bersama – sama dengan sekolah – sekolah lain di Kabupaten Blora secara serentak melaksanakan kebijakan baru di bidang pendidikan sesuai dengan ketentuan – ketentuan tersebut. Salah satu kegiatan di bidang pendidikan yang telah dilaksanakan oleh SMP 1 Randublatung adalah dilaksanakannya ujian akhir sekolah yang didasarkan pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 dan Permendiknas No. 23 Tahun 2006. Pada tahun 2008 pelaksanaan ujian akhir sekolah di SMP 1 Randublatung Kabupaten Blora sepenuhnya telah dilaksanakan berdasarkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan pada semua mata pelajaran termasuk di dalamnya adalah ujian akhir sekolah pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

Sebagai hal yang baru mengenai pelaksanaan evaluasi / ujian akhir sekolah di SMP 1 Randublatung sebagaimana diuraikan di atas, maka permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut :

1. Apakah pelaksanaan ujian akhir sekolah pada mata pelajaran PKn tahun 2008 di SMP 1 Randublatung benar – benar telah sesuai dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan ?

2. Bagaimanakah relevansi soal – soal ujian akhir sekolah pada mata pelajaran PKn tahun 2008 di SMP 1 Randublatung dengan Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, serta Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diberlakukan ?

Untuk mendapatkan jawaban permasalahan tersebut akan dijelaskan pada uraian berikutnya.

III. PEMBAHASAN

A. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Ujian Sekolah.

Paradikma yang muncul terkait dengan pelaksanaan evaluasi / penilaian pendidikan (hasil belajar) dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah semakin kuatnya kemandirian sekolah (satuan pendidikan) dan pendidik (guru) untuk melaksanakan kegiatan penilaian / evaluasi terhadap hasil belajar siswa.

Kegiatan penilaian / evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang merupakan sub system dari pengembangan dan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan sekaligus merupakan bagian integral dari upaya pengembangan dan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan itu sendiri.

Berdasarkan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Permendiknas No. 23 Tahun 2006 Tentang Standart Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah pada pasal 1 dijelaskan bahwa Satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai kebutuhan satuan pendidikan yang bersangkutan. Pengembangan dan penetapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ini dilaksanakan dengan berdasarkan pada :

a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 sampai dengan Pasal 38,

b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 5 sampai dengan Pasal 18, dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 27;3

c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;

d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

Berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi terhadap hasil belajar siswa dalam UU No 20/2003 terdapat dua ketentuan yang relevan yaitu : Pasal 58 Ayat (1) mengatakan :"evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik", dan Pasal 61 Ayat (2) yang mengatakan bahwa "ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi". Kedua ayat tersebut mengandung makna bahwa evaluasi yang berimplikasi kelulusan sertifikasi adalah kewenangan pendidik dalam satuan pendidikan yang terakreditasi.

Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan

Evaluasi pendidikan itu dilakukan oleh berbagai pihak baik oleh pemerintah, satuan pendidikan dan pendidik. Penilaian yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran PKn sedangkan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Evaluasi terhadap peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Pelaksanaan evaluasi / penilaian terhadap peserta didik harus dilakukan sesuai standar penilaian sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik (Lampiran Permendiknas No. 20 Tahun 2007 pasal 2).

Berdasarkan Permendiknas No. 20 Tahun 2007 penilaian dapat dilakukan antara lain dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ulangan kenaikan kelas, ujian sekolah / madrasah dan ujian nasional.

Seluruh bentuk penilaian tersebut agar dalam pelaksanaannya benar – benar sesuai dengan standar penilaian, maka dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan ketentuan - ketentuan dalm Permendiknas No.20 Tahun 2007, terutama yang menyangkut hal – hal sebagai berikut :

1.Mekanisme dan prosedur penilaian.

Mekanisme dan Prosedur Penilaian dalam Kegiatan ujian sekolah / madrasah dilakukan dengan langkah-langkah: (a) menyusun kisi-kisi ujian, (b) mengembangkan instrumen, (c) melaksanakan ujian, (d) mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah, dan (e) melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian. Seluruh kegiatan terkait dengan pelaksanaan ujian akhir sekolah tersebut terutama pada kegiatan penyusunan kisi-kisi ujian dan pengembangan instrument ujian harus dilakukan dengan memperhatikan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan pada mata pelajaran tersebut.

2.Prinsip penilaian.

Pelaksanaan penilaian / evaluasi pendidikan dengan mekanisme dan prosedur penilaian sebagaimana diuraikan di atas harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip – prinsip penilaian sebagai beikut :

a. Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.

b. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.

c. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.

d. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.

e. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.

f. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.

g. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.

h. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.

i. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya

3.Teknik dan instrument penilaian.

Instrumen penilaian hasil belajar yang digunakan pendidik memenuhi persyaratan (a) substansi, adalah merepresentasikan kompetensi yang dinilai, (b) konstruksi, adalah memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan, dan (c) bahasa, adalah menggunakan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik. Instrumen penilaian yang digunakan oleh satuan pendidikan dalam bentuk ujian sekolah/madrasah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa, serta memiliki bukti validitas empirik

Pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan SMP/MTs sesuai dengan Permendiknas No. 23 Tahun 2006 di dalamnya memuat standar kompetensi lulusan (SKL) sebagai berikut :

1. Memahami dan menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

2. Menjelaskan makna proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sesuai dengan suasana kebatinan konstitusi pertama

3. Menghargai perbedaan dan kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat dengan bertanggung jawab

4. Menampilkan perilaku yang baik sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

5. Menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan kehidupan demokrasi dan kedaulatan rakyat

6. Menjelaskan makna otonomi daerah, dan hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah

7. Menunjukkan sikap kritis dan apresiatif terhadap dampak Globalisasi

8. Memahami prestasi diri untuk berprestasi sesuai dengan keindividuannya

Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu bentuk penilaian pendidikan adalah ujian sekolah / madrasah. Berdasarkan lampiran Permendiknas No. 20 Tahun 2007 pada pasal 8 dijelaskan bahwa Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan. Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan dalam ujian nasional dan aspek kognitif dan/atau psikomotorik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian yang akan diatur dalam POS Ujian Sekolah/Madrasah

Ujian Sekolah / Madrasah ini adalah merupakan salah satu bentuk penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran. Disamping Ujian sekolah / madrasah setiap satuan pendidikan juga berwewenang menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/Madrasah bagi satuan pendidikan penyelenggara UN yang harus memenuhi kriteria kelulusan diantaranya adalah bahwa : penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dlaksanakan melalui rapat dewan pendidik sesuai dengan kriteria:

a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran.

b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.

c. lulus ujian sekolah/madrasah.

d. lulus UN.

B. Tinjauan Empiris Pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah Mata Pelajaran PKn di SMP 1 Randublatung Tahun 2008.

Ujian akhir Sekolah pada Mata Pelajaran PKn di SMP 1 Randublatung tahun 2008 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Soal ujian dibuat oleh MKKS dengan memberdayakan forum MGMP PKn.

2. Soal ujian diupayakan sesuai dengan SKL, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran PKn.

3. Soal ujian sekolah mapel PKn terbagi dalam 2 (dua paket) yaitu soal ujian sekolah paket A dan paket B.

4. Bentuk soal ujian sekolah terdiri dari 50 soal berbentuk pilihan ganda dan 5 soal uraian.

Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan untuk mengetahui kesesuai soal ujian sekolah mata pelajaran PKn dengan SKL, Standar Kompetensi, dan Kompetensi Dasar dapat penulis jelaskan sebagaimana daftar berikut ini.

STANDAR KOMPETENSI

KOMPETENSI DASAR

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN (SKL)

Penjabaran Dalam Soal UAS

Paket A No.

Paket B No.

1.1Menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

1.1Mendeskripsikan hakikat norma, kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat.

1.2Menjelaskan hakikat dan arti penting hukum bagi warga negara

1.3Menerapkan norma-norma, kebiasaan -kebiasaan, adat istiadat dan peraturan yang berlaku dalam kehidupan ber-masyarakat, berbangsa dan bernegara

Memahami dan menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

1, 3

2, 4, 5

1

2, 3, 4,5

2.1Mendeskripsikan makna Proklamasi Kemerdekaan dan konstitusi pertama

2.1 Menjelaskan makna proklamasi kemer dekaan

2.2 Mendeskripsikan suasana kebatinan konstitusi pertama

2.3 Menunjukkan sikap positif terhadap makna proklamasi kemerdekaan dan suasana kebatinan konstitusi pertama

Menjelaskan makna proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sesuai dengan suasana kebatinan konstitusi pertama


6,7

8

3.1Menampilkan sikap positif terhadap perlindungan dan penegakkan Hak Azasi Manusia (HAM)

3.1 Menguraikan hakikat hukum dan kelembagaan HAM

3.2 Mendeskripsikan kasus pelanggaran dan upaya penegakkan HAM

3.3 Menghargai upaya perlindungan HAM

3.4 Menghargai upaya penegakkanHAM


10, 11, 12

9,10, 11,12, 51

4.1Menampilkan perilaku kemerdekaan mengemukakan pendapat

4.1 Menjelaskan hakekat kemerdekaan mengemuka kan pendapat

4.2 Menguraikan pentingnya kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab

4.3 Mengakuatlisasikan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab

Menghargai perbedaan dan kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat

dengan bertanggung jawab

14, 15, 51

17

16

13,14

15, 16

5.1Menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila

5.1.Menjelaskan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara

5.2.Menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara

5.3.Menunjukkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

5.4.Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat.

Menampilkan perilaku yang baik sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945

18, 19, 52

17,18

19

6.1Memahami berbagai konstitusi yang pernah di gunakan di Indonesia

6.1 Menjelaskan berbagai konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia

6.2 Menganalisis penyimpangan-penyimpangan terhadap konstitusi yang berla ku di Indonesia

6.3 Menunjukkan hasil-hasil amandemen UUD 1945

6.4 Menampilkan sikap positif terhadap pelaksanaan UUD 1945 hasilamandemen


22

21

20, 21

52

7.1Menampilkan ke taatan terhadap perundang-undangan nasional

7.1 Mengidentifikasi tata urutan peraturan perundang-undangan nasional

7.2 Mendeskripsikan proses pembuatan peraturan perundangundangan nasional

7.3 Mentaati peraturan perundangundangan nasional

7.4 Mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

7.5 Mendeskripsikan pengertian anti korupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan) anti korupsi di Indonesia


23, 24,

25

26

27,28, 29

22, 23, 24

25

26, 27, 28, 29

8.1Memahami pelaksanaan demokrasi dalam berbagai aspek kehidupan

8.1 Menjelaskan haki kat demokrasi

8.2 Menjelaskan pentingnya kehidupan demokrasi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

8.3 Menujukkan sikap positif terhadap pelaksanaan demokrasi dalam berbagai kehidupan

Menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan kehidupan demokrasi dan

kedaulatan rakyat

30,

31

30,

31

9.1Memahami kedaulatan rakyat dalam sistem pemerintahan di Indonesia

9.2.Menjelaskan makna kedaulatan rakyat

9.3.Mendeskripsikan sistem pemerintahan Indonesia dan peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat

9.4.Menunjukkan sikap positif terhadap kedaulatan rakyat dan sistem pemerintahan Indonesiapelaksana kedaulatan rakyat

9.4.Menunjukkan sikap positif terhadap kedaulatan rakyat dan sistem pemerintahan Indonesia

Menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan kehidupan demokrasi dan

kedaulatan rakyat

32

33

32, 33, 34,

10.1.Menampilkan partisipasi dalam usaha pembelaan negara

10.1.Menjelaskan pentingnya usaha pembelaan Negara

10.2. Mengidentifikasi bentukbentuk usaha pembelaan Negara

10.3. Menampilkan peran serta dalam usaha pembelaan negara


34, 35, 36

38

35, 53

36, 37

38

11.1.Memahami pelaksanaan otonomi daerah

11.1 Mendeskripsikan pengertian otonomi daerah

11.2 Menjelaskan pentingnya parti sipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik di daerah

Menjelaskan makna otonomi daerah, dan hubungan antara pemerintahan pusat

dan daerah

39, 40

41, 42

39, 40

41, 42

12.1.Memahami dampak globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

12.1. Menjelaskan pengertian dan pentingnya globalisasi bagi Indonesia

12.2. Mendeskripsikan politik luar negeri dalam hubungan internasional di era global

12.3. Mendeskripsikan dampak globalisasi terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

12.4. Menentukan sikap terhadap dampak globalisasi

Menunjukkan sikap kritis dan apresiatif terhadap dampak globalisasi

43, 44, 54

45, 46

44

43, 44, 54

45

46, 48

13.1.Menampilkan prestasi diri sesuai kemampuan demi keunggulan bangsa

13.1. Menjelaskan pentingnya presta si diri bagi keunggulan bangsa

13.2. Mengenal potensi diri untuk berprestasi sesuai kemampuan

13.3. Menampilkan peran serta dalam berbagai aktivitas untuk mewujudkan prestasi diri sesuai kemampuan demi keunggulan bangsa.


49,50, 55

47, 49, 55

50

Berdasarkan daftar di atas terdapat beberapa catatan terkait dengan soal ujian sekolah mata pelajaran PKn tahun 2008 diantaranya :

1. Soal ujian sekolah mata pelajaran PKn tahun 2008 belum menunjukkan penjabaran kompetensi dasar yang ada secara merata.

2. Soal lebih cenderung menumpuk kepada penjabaran kompetensi dasar yang mengarah pada penilaian ranah kognitif.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas apabila kita mencermati tentang soal ujian sekolah mata pelajaran PKn tahun 2008 di SMP 1 Randublatung dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Dalam proses pembuatan soal ujian belum mengoptimalkan peran guru terbukti dengan dibuatnya soal oleh MKKS dengan memberdayakan MGMP.

2. Materi yang di dalam soal ujian sekolah belum sepenuhnya mencerminkan adanya kesesuaian antara Standar Kompetensi Lulusan , Kompetensi Dasar, dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di SMP 1 Randublatung. Hal ini berarti keberadaan soal ujian sekolah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP 1 Randublatung belum dapat dikatakan telah sesuai dengan Standar Isi,

DAFTAR PUSTAKA

http//www/scribd.comdoc3846099MANAJEMEN-SISTEM-EVALUASI PENDIDIKAN, downloud 28 Maret 2009.

UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi

Permendiknas No, 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan.

Permendiknas No. 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMP 1 Randublatung Tahun 2007 / 2008

Indentitasku

Nama : SURATMAN
Tempat / Tanggal Lahir : Blora, 25 Januari 1967
Pekerjaan: Guru
Alamat : Pilang, Randublatung, Blora
Agama: Islam

evaluasi keberadaan dan perkembangan SBI

EVALUASI KEBERADAAN DAN PERKEMBANGAN

SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

Oleh : SURATMAN

Abstrak

Evaluasi keberadaan dan perkembangan Sekolah Bertaraf Internasional merupakan hal yang penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keberadaan dan perkembangan Sekolah Bertaraf Internasional yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah.

Sekolah Bertaraf Internasional merupakan kebijakan baru dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia. Pendorong utama pelaksanaan program Sekolah Bertaraf Internasional adalah andanya tuntutan dalam menghadapi persaingan di era global.

Pelaksanaan Sekolah Bertaraf Internasional selama ini masih mengalami banyak kendala yang perlu segera dicarikan solusinya agar Sekolah Bertaraf Internasional yang telah diprogramkan itu benar-benar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kendala – kendala tersebut diantaranya adalah masih banyak ditemukan guru tidak mampu berbahasa Inggris yang baik dalam pembelajaran, biaya yang mahal sehingga SBI hanya bisa dinikmati oleh kelompok tertentu saja (hanya orang yang mampu secara finansial), tidak memiliki format dan arah yang jelas, adanya pemahaman yang keliru tentang pengertian bertaraf internasional.

Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut agar SBI dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan solusi yang bisa dilakukan antara lain perlu dikaji secara mendalam sebelum SBI dibentuk, tidak perlu memaksakan diri guru untuk menerapkan pembelajaran berbahasa Inggris bila memang tidak mempunyai kemampuan untuk itu, SBI supaya berhasil perlu dipersiapkan secara matang mulai dari pengadaan sarana prasaran, perekrutan guru dan tenaga kependidikan khusun untuk SBI.

Kata Kunci : Evaluasi Keberadaan dan Perkembangan SBI.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketertinggalan di berbagai bidang di era globalisasi dibandingkan negara-negara tetangga telah menyebabkan pemerintah terdorong untuk memacu diri untuk memiliki standar internasional diberbagai sektor kehidupan. Sektor pendidikan termasuk yang didorong untuk berstandar internasional. Dorongan itu bahkan dicantumkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Berbekal keinginan yang kuat dan dengan berlandaskan pada ketentuan dalam pasal 50 ayat (3) Undang - Undang Sisdiknas tersebut maka Depdiknas segera mengeluarkan program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) bahkan tidak tanggung - tanggung proyek rintisannya saja telah menyertakan ratusan SMP dan SMA di hampir semua Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan dana ratusan milyar meski peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan seperti itu belum ada. Ini merupakan proyek prestisius karena keberadaan sekolah bertaraf internasional ini dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Setiap sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah bertaraf internasional Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahunnya dan paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.

Ada beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh sekolah untuk dapat ditetapkan sebagai sekolah rintisan bertaraf internasional. Menurut Moedjito dalam artikelnya yang dimuat dalam Widya (2008:2) Ia mengatakan bahwa membangun sekolah-sekolah model (baca SBI) tidak sulit asal ada lahan dan uangnya, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengisinya dan kesiapan sumber daya manusianya. (Moedjito dalam Satria Dharma, 2007)

Kriteria dasar yang harus dipenuhi sekolah untuk mendapat status SBI adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan mutu sekolah harus setara dengan sekolah internasional dan memperoleh akreditasi dari lembaga internasional.

b. Kepala sekolah dan pengajar harus memperoleh sertifikasi dan atau lisensi internasional.

c. Peningkatan mutu sekolah harus dilandasi suatu rencana yang menggunakan pendekatan.

d. Adanya partisipasi masyarakat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kota atau kabupaten selama proses peningkatan mutu sampai dengan pencapaian standar internasional untuk menjamin keberlanjutan (Sustainability) program sekolah tersebut.

e. Melibatkan instansi profesional dan LPMP untuk menjamin keberlanjutan program sekolah yang bertaraf internasional.

f. Bermitra dengan sekolah luar negeri sehingga lulusannya dapat diterima di perguruan tinggi luar maupun dalam negeri.

Di samping itu, prasyarat yang harus dipenuhi sebelum sekolah dapat dikatakan bertaraf internasional adalah:

a. menggunakan kurikulum nasional (modifikasi), yang dipadu dengan kurikulum internasional

b. Wajib mengikuti Ujian Nasional

c. Mengikuti ujian internasional (optional)

d. Proses pembelajaran dan manejemen (berstandar internasional)

e. Berbasis pada kultur Indonesia

f. Tidak eksklusif ( semua aspek dikembangkan)

g. Sistem dalam penerimaan siswa (akses untuk siswa makin setara)

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diajukan rumusan masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah keberadaan dan perkembangan Sekolah Bertaraf Internasional sebagai hasil kebijakan pemerintah saat ini?
  2. Kendala apa saja yang umumnya muncul terkait dengan pelaksanaan sekolah bertaraf internasional ?
  3. Apa solusi yang mesti diambil dalam rangka mengatasi kendala yang muncul dalam pelaksanaan sekolah bertaraf internasinal ?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari evaluasi keberadaan dan perkembangan sekolah bertaraf internasional di sini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mendapatkan pemahaman tentang keberadaan dan perkembangan sekolah bertaraf internasional sebagai hasil kebijakan pemerintah saat ini.
  2. Untuk mengetahui kendala umum yang dihadapi dalam pelaksanaan sekolah bertaraf internasional.
  3. Untuk mengetahui solusi apa saja yang mesti diambil dalam rangka mengatasi kendala yang muncul dalam pelaksanaan sekolah bertaraf internasional.

PEMBAHASAN

Untuk mendapatkan pemahaman yang fokus sesuai dengan permasalahan , dalam pembahasan ini secara berturut – turut akan penulis uraikan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan di atas sebagai berikut :

  1. Keberadaan dan perkembangan Sekolah Bertaraf Internasional.

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan pembelajaran yang mengadopsi sistem pembelajaran di luar negeri. Dalam kelas ini siswa dikondisikan untuk aktif di dalam kelas. Bahasa yang digunakan sebagian besar memakai bahasa Inggris. Di kelas ini pun siswa dianjurkan memakai perangkat komputer sendiri untuk mempermudah akses informasi. Peluncuran SBI menjadi kebutuhan pendidikan nasional, sekaligus memenuhi amanat UU Sistem Pendidikan no. 20 tahun 2003. Sekolah Bertaraf Internasional ini sebenarnya tetap merupakan sekolah nasional sebagaimana sekolah-sekolah lain tetapi mutu atau kualitasnya setara dengan sekolah internasional. SBI ini muncul untuk setiap daerah agar memiliki sekolah yang bermutu dengan standar internasional, yang mengacu pada kurikulum dan di padu dengan kurikulum internasional

Dalam ”Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, dijelaskan bahwa Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional merupakan ”Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional”.

Dengan berdasarkan konsep di atas, SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan yang meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Selanjutnya aspek-aspek SNP tersebut diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional

Dalam hal ini untuk dapat ditetapkan sebagai sekolah bertaraf internasonal harus mampu memenuhi indikator-indikator kinerja kunci tambahan sebagai plus-nya, yaitu indikator-indikator kinerja sekolah yang berstandar internasional dari salah satu negara OECD dan atau dari negara maju lainnya yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. Adapun berbagai indikator kinerja kunci minimal dan indikator-indikator kinerja kunci tambahan yang esensial harus mampu dipenuhi dan ditunjukkan sekolah dalam penjaminan mutu pendidikan bertaraf internasional dapat dilihat pada sebagai berikut:

No.

Objek Penjaminan Mutu (Unsur Pend. dlm SNP)

Indikator Kinerja Kunci Minimal (dalam SNP)

Indikator Kinerja Kunci Tambahan sebagai (X-nya)

I

Akreditasi

Berakreditasi A dari BAN-Sekolah dan Madrasah

  • Berakreditasi tambahan dari badan akreditasi sekolah pada salah satu Lembaga akreditasi pada salah satu negara anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan

II

Kurikulum (Standar Isi) dan Standar Kompetensi Lulusan

Menerapkan KTSP

  • Sekolah telah menerapkan sistem administrasi akademik berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dimana setiap siswa dapat mengakses transkripnya masing-masing

.

.

Memenuhi Standar Isi

  • Muatan pelajaran (isi) dalam kurikulum telah setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah negara diantara 30 negara anggota Oraganization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau dari negara maju lainnya

.

.

Memenuhi SKL

  • Penerapan standar kelulusan yang setara atau lebih tinggi dari SNP

.

.

.

  • Meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni dan olah raga

III

Proses Pembelajaran

Memenuhi Standar Proses

  • Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran telah menjadi teladan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, jiwa patriot, dan jiwa inovator
  • Proses pembelajaran telah diperkaya dengan model-model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah negara diantara 30 negara anggota Oraganization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau dari negara maju lainnya
  • Penerapan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mapel
  • Pembelajaran pada mapel IPA, Matematika, dan lainnya dengan bahasa Inggris, kecuali mapel Bahasa Indonesia

IV

Penilaian

Memenuhi Standar Penilaian

  • Sistem/model penilaian telah diperkaya dengan sistem/model penilaian dari sekolah unggul diantara salah negara diantara 30 negara anggota Oraganization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau dari negara maju lainnya

V

Pendidik

Memenuhi Standar Pendidik

  • Guru Sains, matematika, dan tekonogi mampu mengajar dengan bahasa Inggris
  • Semua guru mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK
  • Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A

VI

Tenaga Kependidikan

Memenuhi Standar Kependidikan

  • Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
  • Kepala sekolah telah menempuh pelatihan kepala sekolah dari lembaga pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh pemerintah
  • Kepala sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif
  • Kepala sekolah memiliki visi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan entreprenual yang kuat

VII

Sarana dan Prasarana

Memenuhi Standar Sarana dan Prasarana

  • Setiap ruang kelas dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK
  • Sarana perpustakaan TELAH dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia
  • Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik, dll

VIII

Pengelolaan

Memenuhi Standar Pengelolaan

  • Sekolah meraih sertifikasi ISO 9001 VERSI 2000 atau sesudahnya (2001, dst) dan ISO 14000
  • Merupakan sekolah multi kultural
  • Sekolah telah menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf/berstandar internasional di luar negeri
  • Sekolah terbebas dari rokok, narkoba, kekerasan, kriminal, pelecehan seksual, dll
  • Sekolah menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek pengelolaan sekolah

IX

Pembiayaan

Memenuhi Standar Pembiayaan

  • Menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan

Sekolah yang ditetapkan sebagai SBI harus memenuhi Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) dan Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT). Pemenuhan IKKM dan IKKT tersebut adalah untuk memberikan jamninan bahwa sekolah tersebut telah memberikan jaminan mutu pendidikan yang benar-benar bertaraf internasional. Dalam rangka pemenuhan jaminan mutu tersebut, maka Sekolah Bertaraf Internasional dipandang sebagai suatu sistem harus memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam IKKM dan IKKT tersebut yang dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.



Sebagai suatu sistem pendidikan, setiap sekolah harus memenuhi berbagai komponen yang sekaligus menjadi sasaran untuk pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri yaitu terdiri: komponen akreditasi, komponen kurikulum, komponen proses pembelajaran, komponen penilaian, komponen pendidik, komponen tenaga kependidikan, komponen sarana dan prasarana, dan komponen pengelolaan serta komponen pembiayaan pendidikan. Dalam praktik penyelenggaraannya, semua komponen tersebut merupakan obyek penjaminan mutu pendidikan

Penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional yang sekarang dikembangkan oleh pemerintah ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan yaitu sebagai berikut :

a. Era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen dan sumberdaya manusia. Keunggulan teknologi akan menurunkan biaya produksi, meningkatkan kandungan nilai tambah, memperluas keragaman produk, dan meningkatkan mutu produk. Keunggulan manajemen dapat mempengaruhi dan menentukan bagus tidaknya kinerja sekolah, dan keunggulan sumber daya manusia yang memiliki daya saing tinggi pada tingkat internasional, akan menjadi daya tawar tersendiri dalam era globalisai ini.

b. Dalam upaya peningkatan mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan daya saing secara nasional dan sekaligus internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah baik sekolah negeri maupun swasta. Seperti dijelaskan oleh Kir Haryana dalam tulisannya berjudul ”Konsep SBI Pada Jenjang pendidikan SMP”, bahwa Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah telah menetapkan tiga rencana strategis dalam jangka menengah, yaitu: (1) peningkatan akses dan pemerataan dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar, (2) peningkatan mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan daya saing, dan (3) peningkatan manajemen, akuntabilitas, dan pencitraan publik.(Kir Haryana : 2009).

c. Sebagai pelaksanaan berbagai ketentuan peraturan perundangan seperti :

1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 20/2003) Pasal 50 ayat (3) dinyatakan bahwa “pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”;

2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (disingkat SNP); (c) UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 menetapkan tahapan skala prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-1 tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan.

d. Penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan (kreatif, inovatif dan eksperimentatif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan (kreatif, inovatif dan eksperimentatif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus memperhatikan perbedaan kecerdasan, kecakapan, bakat dan minat peserta didik. Jadi, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan potensi intelektual, emosional, dan spriritualnya. Para peserta didik tersebut merupakan aset bangsa yang sangat berharga dan merupakan salah satu faktor daya saing yang kuat, yang secara potensial mampu merespon tantangan globalisasi. Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumberdaya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.

e. Dalam mengaktualisasikan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilaiannya. Maksudnya adalah pembelajaran tidaklah sekedar memperkenalkan nilai-nilai (learning to know), tetapi juga harus bisa membangkitkan penghayatan dan mendorong menerapkan nilai-nilai tersebut (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together) dan menjadikan peserta didik percaya diri dan menghargai dirinya (learning to be).

Respon para penyelenggara pendidikan, baik pemerintah maupun masyarakat untuk merealisasi SBI sangat positif. Pada tahun 2007 rintisan SBI jenjang SMP sebanyak 100 sekolah negeri dan dua sekolah swasta pada 26 provinsi dan 94 kabupaten/kota se Indonesia. Sedangkan pada tahun 2008 jumlahnya berkembang hampir dua kali lipatnya. Sementara itu, untuk SMA telah dirintis lebih dari 200 sekolah baik negeri maupun swasta pada tahun 2008. Besarnya respon masyarakat untuk memanfaatkan SBI maka diperkirakan tahun 2009 ini akan semakin banyak sekolah mengajukan diri menyelenggarakan program SBI.

Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan SBI seperti dikutip oleh Ki Sugeng Subagyo dalam artikelnya berjudul ”SBI Seharusnya Tidak Eksklusif” terdapat dua model penyelenggaraan rintisan SBI, ialah (1) rintisan SBI yang dibina oleh pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, dan (2) rintisan SBI yang dibina langsung oleh pemerintah daerah tanpa pembinaan pemerintah pusat atau disebut dengan rintisan SBI mandiri.(Ki Sugeng Subagyo, 2009).

  1. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Sekolah Bertaraf Internasinal.

Perjalanan sekolah yang telah menyandang sebutan sekolah bertaraf internasional dalam rangka mewujudkan program – program sekolah yang telah disusun ternyata tidaklah seindah yang penulis bayangkan. Banyak hal muncul sebagai kendala yang apabila tidak segera diatasi dengan baik akan membuat kita semua akan merasa khawatir dan ragu apabila sekolah bertaraf internasional yang telah dikembangkan oleh pemerintah ini mencapai sukses.

Berdasarkan pengamatan penulis kendala yang muncul itu terutama terletak pada upaya sekolah untuk merealisasikan syarat-syarat pokok atau sering disebut sebagai Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) dan Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT) sebagaimana telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Munculnya berbagai kendala ini terutama disebabkan oleh beratnya persyaratan – persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga penulis sangat memaklumi apabila kendala tersebut muncul. Sebagai contoh misalnya adanya keluhan seorang guru sebagai guru pendamping dalam praktek pembelajaran di sekolah SBI di Jakarta yang dituangkan dalam sebuah artikel berjudul ” Pengakuan Seorang Guru : Sekolah Bertaraf Internasional Kacau”. Dalam tulisannya beliau mengatakan bahwa ia rasanya mau menangis darah bila menyaksikan pembodohan murid-muridnya oleh ambisi enggak jelas decision maker pendidikan kita. Pengajaran dilakukan oleh satu guru bidang dan satu guru pendamping bahasa Inggris. Pada hari-hari pertama ia masuk di kelas, ia melihat dimana murid-murid dengan antusiasnya berbahasa inggris dengan sesamanya dan dengan para guru. Tetapi lama-kelamaan antusiasme mereka meredup manakala guru-guru bidang (fisika, kimia, matematika, dan biologi) ini tidak dapat merespon dalam bahasa Inggris yang baik. Kalau murid bertanya dalam Bahasa Inggris, maka ia harus menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian guru menjawab dalam bahasa Indonesia yang kemudian di terjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Ia merasa bahwa semua ini dianggapnya sebagai sesuatu yang konyol. Hal demikian berakibat lama-kelamaan anak-anak menjadi malas bertanya dalam bahasa Inggris, karena guru yang mengajar tidak memahami bahasa inggris. Bahkan menurut pengakuannya ada salah satu murid setelah usai pelajaran mengatakan kepadanya , “Bapak dan ibu guru itu sudah deh berbahasa Indoneisa saja, bahasa Inggrisnya enggak becus…kacau…membingungkan…!”

Menyikapi keluhan anak yang demikian ini ternyata menurut pengakuan guru tersebut para guru ini tidak menyadari hal ini. Mereka seringkali mengeluhkan perasaan ketersinggungan mereka ditertawakan murid. Para guru yang sejatinya digugu dan ditiru malah jadi bahan olok-olokan murid, sehingga ia menganggap ini sebagai sebuah dagelan yang sama sekali tidak lucu ini setiap hari, para guru dan murid yang sama-sama frustasi korban ambisi yang tidak jelas.

Hal yang sama juga pernah penulis temukan pada suatu ketika dimana penulis bersama guru – guru yang lain sedang melaksanakan kegiatan studi banding ke salah satu sekolah di Denpasar Bali yang telah mendapatkan presdikat sebagai Sekolah Bertaraf Internasional. Penulis mencoba bertanya pada beberapa siswa kelas IX yang sedang melaksanakan kegiatan di laboratorium komputer. Waktu itu penulis bertanya kepada mereka yang kebetulan sebagai siswa kelas emersi, bagaimana mengenai pelaksanaan pembelajaran di kelas emersi khususnya pada mata pelajaran yang dalam penyampaiannya dilakukan dengan menggunakan bilingual apakah dapat mengikuti dengan baik. Mereka menjawab dapat mengikuti dengan baik hanya komentarnya gurunya saja yang bahasa inggrisnya kacau.

Sekolah Bertaraf Internasional tidak berjalan dengan baik juga pernah dilontarkan Agnes Winarti, (The Jakarta Post, Jakarta: 27 Juni 2008) dalam artikelnya ia mengatakan bahwa sangat meragukan efektivitas dari kelas atau sekolah tersebut. Guru tidak selalu menggunakan bahasa Inggris, dan menjadi bingung sendiri dalam menerangkan segala sesuatu dalam bahasa Inggris. Murid di kelas banyak menggunakan bahasa Indonesia juga. Dan lebih lucu lagi, ada sekolah yang menggunakan uang pangkal yang dibayar oleh orang tua biasa buat anak mereka di kelas biasa malah digunakan untuk renovasi kelas dan penyediaan fasilitas yang digunakan oleh anak di kelas Internasional.Artinya, uang dari supir taksi, sekretaris, satpam, dll (orang biasa), digunakan untuk mensubsidi fasilitas mewah buat anaknya orang yang lebih kaya, yang mendapat kesempatan masuk kelas Internasional.

Masalah berikutnya yang mungkin perlu dipertanyakan adalah apakah SBI ini akan dapat membuat bangsa kita mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara-negara lain? Terhadap pertanyaan tersebut sangat beragam orang berpendapat bahkan Satria Dharma dalam artikelnyaSekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadiz?” (http://satriadharma.com/index.php /2007/09/19/ sekolah-bertaraf-internasional-quo-vadiz/) mengatakan bahwa Jika kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak kekurangan mencolok. Tidak yakin akan menghasilkan kualitas bertaraf internasional, kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas dengan alasan sebagai berikut :

a. Program ini nampaknya tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll tersebut. Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini. Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai “X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Atau mungkin ini sebuah strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur?

b. Dikdasmen membuat rumusan 4 model pembinaan SBI tersebut yaitu :

1) Model Sekolah Baru (Newly Developed),

2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School),

3) Model Terpadu, dan

4) Model Kemitraan.

Pada kenyataannya apabila dilihat sebenarnya hanya ada dua model yaitu Model (1) Model Sekolah Baru dan Model (2) Model Sekolah yang Telah Ada. Dua lainnya hanyalah teknis pelaksanaannya saja. Dari dua model tersebut Dikdasmen sebenarnya hanya melakukan satu model rintisan yaitu Model (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (existing School) dan tidak memiliki atau berusaha untuk membuat model (1) Model Sekolah Baru. Anehnya, buku Panduan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu pada Model (1) padahal yang dikembangkan saat ini semua adalah Model (2). Jelas bahwa sekolah yang ada tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI karena acuan yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian sekolah baru atau Model (1).

c. Konsep SBI ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance- nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogic.

d. Penyusun konsep SBI ini nampaknya juga tidak paham bahwa tidak semua orang (terutama guru PNS!) bisa ‘dijadikan’ fasih berbahasa Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai ilustrasi, bahkan masih banyak guru kita di pelbagai daerah yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar! Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mungkin ‘menyulap’ para guru hard science agar dapat fasih berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500 seperti persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran Rintisan SBI tersebut) meski mereka dikursuskan di sekolah bahasa Inggris terbaik.

e. Penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan materi, pedagogi, apalagi masih struggling in English jelas akan membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas merupakan eksperimen yang beresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah yang sebetulnya merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”. Tidak perlu terlalu cerdas untuk melihat betapa beresikonya program ini. Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri yang diikutkan program ini beresiko besar untuk mengalami kekacauan dalam proses KBM-nya. Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.

f. Kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan asumsi dari penggagas SBI bahwa Sekolah bertaraf internasional itu harus diajarkan dalam bahasa asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka bertaraf internasional. Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan materi hard science dalam bahasa Inggris supaya dapat dianggap bertaraf internasional. Kurikulumnyalah yang harus bertaraf internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan kurikulumnya. Penguatan kemampuan berbahasa Inggris bertaraf internasional bisa dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan terus menerus kepada guru-guru bhs Inggris yang mempunyai beban untuk meingkatkan kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris. Selama ini siswa-siswa kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri tidak pernah diminta untuk mempunyai persyaratan berstandar Cambridge, umpamanya. Jika mereka memiliki tingkat penguasaan yang tinggi dalam bidang studi dan mereka mampu memiliki kompetensi berbahasa Inggris yang baik maka mereka selalu bisa masuk ke perti di luar negeri. Bukankah selama ini mereka tidak pernah ditest masuk dengan menggunakan materi Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dll dalam bhs Inggris? Lantas mengapa mereka harus dilatih sejak awal untuk memahami materi bidang studi tersebut dalam bahasa Inggris (oleh guru yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk itu)? Cara yang lebih mudah sebenarnya adalah mengadopsi GCSE sebagai ujian bagi siswa-yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri tanpa harus mengorbankan begitu banyak sistem yang telah berlaku. Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di Amerika masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat.

g. Kesalahan mendasar lain adalah asumsi dan anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar kecerdasan tertentu. Kurikulum yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah ‘mengkhianati’ SNP itu sendiri karena menganggapnya sebagai ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa cerdas Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga paham yang diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak memilikinya.

h. Dengan program SBI ini Depdiknas memberikan persepsi yang keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan tersebut adalah sekolah yang ‘akan’ menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Dan ini adalah sama dengan menanam “bom waktu’. Banyak sekolah yang jelas-jelas hendak memberi persepsi kepada masyarakat bahwa sekolah mereka telah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dan bukan sekedar ‘rintisan’ lagi. Suatu usaha pembodohan dan pengelabuan dari sekolah kepada masyarakat.

SBI ini merupakan sekolah yang memerlukan biaya yang sangat besar, sehingga tidak semua warga negara dapat mengakses sekolah ini. Hanya anak dari kalangan keluarga yang mampulah yang bisa menikmatinya, sehingga dikhawatirkan hanya akan membentuk kelompok eksklusif di sekolah.

  1. Solusi yang mesti diambil untuk mengatasi kendala yang muncul dalam pelaksanaan sekolah bertaraf internasional.

Berdasarkan permasalahan dan kendala di atas, maka berkaitan dengan pelaksanaan sekolah bertaraf internasional solusi yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut :

a. Pelaksanaan SBI tidak perlu memaksakan kepada guru untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan bahasa Inggris kalau memang kemampuan berbahasa inggris tersebut memamg tidak dimiliki oleh guru di sekolah yang ditetapkan sebagai sekolah bertaraf internasional, tetapi cukup kurikulumnya sajalah yang diupayakan bertaraf internasional.

b. Untuk mewujudkan Sekolah Bertaraf Internasional akan lebih berhasil apabila pemerintah melaksanakan program SBI dengan dipersiapkan lebih awal segala sesuatunya dengan membentuk sekolah baru dan perekrutan guru-guru dan tenaga kependidikan yang baru yang memang dipersiapkan untuk membentuk Sekolah Bertaraf Internasional.

c. Perlu pengkajian yang mendalam untuk membentuk SBI agar pembentukannya tidak mengalami kegagalan seperti yang telah diprogramkan.

d. Untuk menghindari kesan SBI adalah sekolah eksklusif, perlu dipertimbangkan agar semua warganegara bisa mengakses ke sekolah bertaraf internasional terutama untuk anak-anak yang memiliki kompetensi tinggi tetapi secara finansial berasal dari keluarga yang kurang mampu.

e. Perlu dipertimbangkan keberlangsungan pendidikan para siswa yang mengikuti pembelajaran di SBI mulai dari tingkat SD/MI/sederajat, SMP/MTS/sederajat dan SMA/SMK/MA/ sederajat.

PENUTUP

Pelaksanaan Program Sekolah bertaraf Internasional akan berjalan dengan baik yaitu dengan memadukan kurikulum Nasional (KTSP) dengan kurikulum internasional (Cambridge) serta didukung dengan kelengkapan sarana dan prasarana serta SDM yang berkualitas. Pelaksanaan Program SBI yang baik akan berpengaruh baik pula dalam mengembangkan potensi para siswa untuk dipersiapkan dalam rangka menghadapi persaingan di era global.

DAFTAR PUSTAKA

Ki Sugeng Subagyo, ” SBI Sebaiknya Tidak Eksklusif”, http://susub.blogspot.com/, downloud 20 Mei 2009

Kir Haryana,2009, ”Konsep SBI pada jenjang pendidikan SMP”, http://forum-rsbi.net/index.php?page=7, dounwloud 21 Mei 2009

Kir Haryana,2009, ”Indikator SBI”,by admin on April 04, 2009, 01:07:00 PM

http://forum-rsbi.net/index.php?page=9, 21 Mei 2009

Kir Haryana,2009, ”Konsep dan Karakteristik Esensial SBI”,by admin on March 28, 2009, 08:59:00 AM, http://forum-rsbi.net/ index.php? PHPSESSID= 4fb1e0fbf5cd305993106d7f36da3f63& page=6, 21 Mei 2009

Pengakuan Guru: Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) Kacau! http://genenetto.blogspot.com/2008/07/pengakuan-guru-sekolah-bertaraf.html

Satria Dharma, 2007, ”Sekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadis?”, http://satriadharma.com/index.php/2007/09/19/sekolah-bertaraf-internasional-quo-vadiz/, douwnloud 19 Mei 2009