Rabu, 03 Juni 2009

evaluasi keberadaan dan perkembangan SBI

EVALUASI KEBERADAAN DAN PERKEMBANGAN

SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

Oleh : SURATMAN

Abstrak

Evaluasi keberadaan dan perkembangan Sekolah Bertaraf Internasional merupakan hal yang penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keberadaan dan perkembangan Sekolah Bertaraf Internasional yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah.

Sekolah Bertaraf Internasional merupakan kebijakan baru dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia. Pendorong utama pelaksanaan program Sekolah Bertaraf Internasional adalah andanya tuntutan dalam menghadapi persaingan di era global.

Pelaksanaan Sekolah Bertaraf Internasional selama ini masih mengalami banyak kendala yang perlu segera dicarikan solusinya agar Sekolah Bertaraf Internasional yang telah diprogramkan itu benar-benar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kendala – kendala tersebut diantaranya adalah masih banyak ditemukan guru tidak mampu berbahasa Inggris yang baik dalam pembelajaran, biaya yang mahal sehingga SBI hanya bisa dinikmati oleh kelompok tertentu saja (hanya orang yang mampu secara finansial), tidak memiliki format dan arah yang jelas, adanya pemahaman yang keliru tentang pengertian bertaraf internasional.

Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut agar SBI dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan solusi yang bisa dilakukan antara lain perlu dikaji secara mendalam sebelum SBI dibentuk, tidak perlu memaksakan diri guru untuk menerapkan pembelajaran berbahasa Inggris bila memang tidak mempunyai kemampuan untuk itu, SBI supaya berhasil perlu dipersiapkan secara matang mulai dari pengadaan sarana prasaran, perekrutan guru dan tenaga kependidikan khusun untuk SBI.

Kata Kunci : Evaluasi Keberadaan dan Perkembangan SBI.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketertinggalan di berbagai bidang di era globalisasi dibandingkan negara-negara tetangga telah menyebabkan pemerintah terdorong untuk memacu diri untuk memiliki standar internasional diberbagai sektor kehidupan. Sektor pendidikan termasuk yang didorong untuk berstandar internasional. Dorongan itu bahkan dicantumkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Berbekal keinginan yang kuat dan dengan berlandaskan pada ketentuan dalam pasal 50 ayat (3) Undang - Undang Sisdiknas tersebut maka Depdiknas segera mengeluarkan program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) bahkan tidak tanggung - tanggung proyek rintisannya saja telah menyertakan ratusan SMP dan SMA di hampir semua Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan dana ratusan milyar meski peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan seperti itu belum ada. Ini merupakan proyek prestisius karena keberadaan sekolah bertaraf internasional ini dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Setiap sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah bertaraf internasional Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahunnya dan paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.

Ada beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh sekolah untuk dapat ditetapkan sebagai sekolah rintisan bertaraf internasional. Menurut Moedjito dalam artikelnya yang dimuat dalam Widya (2008:2) Ia mengatakan bahwa membangun sekolah-sekolah model (baca SBI) tidak sulit asal ada lahan dan uangnya, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengisinya dan kesiapan sumber daya manusianya. (Moedjito dalam Satria Dharma, 2007)

Kriteria dasar yang harus dipenuhi sekolah untuk mendapat status SBI adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan mutu sekolah harus setara dengan sekolah internasional dan memperoleh akreditasi dari lembaga internasional.

b. Kepala sekolah dan pengajar harus memperoleh sertifikasi dan atau lisensi internasional.

c. Peningkatan mutu sekolah harus dilandasi suatu rencana yang menggunakan pendekatan.

d. Adanya partisipasi masyarakat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kota atau kabupaten selama proses peningkatan mutu sampai dengan pencapaian standar internasional untuk menjamin keberlanjutan (Sustainability) program sekolah tersebut.

e. Melibatkan instansi profesional dan LPMP untuk menjamin keberlanjutan program sekolah yang bertaraf internasional.

f. Bermitra dengan sekolah luar negeri sehingga lulusannya dapat diterima di perguruan tinggi luar maupun dalam negeri.

Di samping itu, prasyarat yang harus dipenuhi sebelum sekolah dapat dikatakan bertaraf internasional adalah:

a. menggunakan kurikulum nasional (modifikasi), yang dipadu dengan kurikulum internasional

b. Wajib mengikuti Ujian Nasional

c. Mengikuti ujian internasional (optional)

d. Proses pembelajaran dan manejemen (berstandar internasional)

e. Berbasis pada kultur Indonesia

f. Tidak eksklusif ( semua aspek dikembangkan)

g. Sistem dalam penerimaan siswa (akses untuk siswa makin setara)

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diajukan rumusan masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah keberadaan dan perkembangan Sekolah Bertaraf Internasional sebagai hasil kebijakan pemerintah saat ini?
  2. Kendala apa saja yang umumnya muncul terkait dengan pelaksanaan sekolah bertaraf internasional ?
  3. Apa solusi yang mesti diambil dalam rangka mengatasi kendala yang muncul dalam pelaksanaan sekolah bertaraf internasinal ?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari evaluasi keberadaan dan perkembangan sekolah bertaraf internasional di sini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mendapatkan pemahaman tentang keberadaan dan perkembangan sekolah bertaraf internasional sebagai hasil kebijakan pemerintah saat ini.
  2. Untuk mengetahui kendala umum yang dihadapi dalam pelaksanaan sekolah bertaraf internasional.
  3. Untuk mengetahui solusi apa saja yang mesti diambil dalam rangka mengatasi kendala yang muncul dalam pelaksanaan sekolah bertaraf internasional.

PEMBAHASAN

Untuk mendapatkan pemahaman yang fokus sesuai dengan permasalahan , dalam pembahasan ini secara berturut – turut akan penulis uraikan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan di atas sebagai berikut :

  1. Keberadaan dan perkembangan Sekolah Bertaraf Internasional.

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan pembelajaran yang mengadopsi sistem pembelajaran di luar negeri. Dalam kelas ini siswa dikondisikan untuk aktif di dalam kelas. Bahasa yang digunakan sebagian besar memakai bahasa Inggris. Di kelas ini pun siswa dianjurkan memakai perangkat komputer sendiri untuk mempermudah akses informasi. Peluncuran SBI menjadi kebutuhan pendidikan nasional, sekaligus memenuhi amanat UU Sistem Pendidikan no. 20 tahun 2003. Sekolah Bertaraf Internasional ini sebenarnya tetap merupakan sekolah nasional sebagaimana sekolah-sekolah lain tetapi mutu atau kualitasnya setara dengan sekolah internasional. SBI ini muncul untuk setiap daerah agar memiliki sekolah yang bermutu dengan standar internasional, yang mengacu pada kurikulum dan di padu dengan kurikulum internasional

Dalam ”Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, dijelaskan bahwa Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional merupakan ”Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional”.

Dengan berdasarkan konsep di atas, SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan yang meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Selanjutnya aspek-aspek SNP tersebut diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional

Dalam hal ini untuk dapat ditetapkan sebagai sekolah bertaraf internasonal harus mampu memenuhi indikator-indikator kinerja kunci tambahan sebagai plus-nya, yaitu indikator-indikator kinerja sekolah yang berstandar internasional dari salah satu negara OECD dan atau dari negara maju lainnya yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. Adapun berbagai indikator kinerja kunci minimal dan indikator-indikator kinerja kunci tambahan yang esensial harus mampu dipenuhi dan ditunjukkan sekolah dalam penjaminan mutu pendidikan bertaraf internasional dapat dilihat pada sebagai berikut:

No.

Objek Penjaminan Mutu (Unsur Pend. dlm SNP)

Indikator Kinerja Kunci Minimal (dalam SNP)

Indikator Kinerja Kunci Tambahan sebagai (X-nya)

I

Akreditasi

Berakreditasi A dari BAN-Sekolah dan Madrasah

  • Berakreditasi tambahan dari badan akreditasi sekolah pada salah satu Lembaga akreditasi pada salah satu negara anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan

II

Kurikulum (Standar Isi) dan Standar Kompetensi Lulusan

Menerapkan KTSP

  • Sekolah telah menerapkan sistem administrasi akademik berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dimana setiap siswa dapat mengakses transkripnya masing-masing

.

.

Memenuhi Standar Isi

  • Muatan pelajaran (isi) dalam kurikulum telah setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah negara diantara 30 negara anggota Oraganization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau dari negara maju lainnya

.

.

Memenuhi SKL

  • Penerapan standar kelulusan yang setara atau lebih tinggi dari SNP

.

.

.

  • Meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni dan olah raga

III

Proses Pembelajaran

Memenuhi Standar Proses

  • Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran telah menjadi teladan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, jiwa patriot, dan jiwa inovator
  • Proses pembelajaran telah diperkaya dengan model-model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah negara diantara 30 negara anggota Oraganization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau dari negara maju lainnya
  • Penerapan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mapel
  • Pembelajaran pada mapel IPA, Matematika, dan lainnya dengan bahasa Inggris, kecuali mapel Bahasa Indonesia

IV

Penilaian

Memenuhi Standar Penilaian

  • Sistem/model penilaian telah diperkaya dengan sistem/model penilaian dari sekolah unggul diantara salah negara diantara 30 negara anggota Oraganization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau dari negara maju lainnya

V

Pendidik

Memenuhi Standar Pendidik

  • Guru Sains, matematika, dan tekonogi mampu mengajar dengan bahasa Inggris
  • Semua guru mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK
  • Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A

VI

Tenaga Kependidikan

Memenuhi Standar Kependidikan

  • Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
  • Kepala sekolah telah menempuh pelatihan kepala sekolah dari lembaga pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh pemerintah
  • Kepala sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif
  • Kepala sekolah memiliki visi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan entreprenual yang kuat

VII

Sarana dan Prasarana

Memenuhi Standar Sarana dan Prasarana

  • Setiap ruang kelas dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK
  • Sarana perpustakaan TELAH dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia
  • Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik, dll

VIII

Pengelolaan

Memenuhi Standar Pengelolaan

  • Sekolah meraih sertifikasi ISO 9001 VERSI 2000 atau sesudahnya (2001, dst) dan ISO 14000
  • Merupakan sekolah multi kultural
  • Sekolah telah menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf/berstandar internasional di luar negeri
  • Sekolah terbebas dari rokok, narkoba, kekerasan, kriminal, pelecehan seksual, dll
  • Sekolah menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek pengelolaan sekolah

IX

Pembiayaan

Memenuhi Standar Pembiayaan

  • Menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan

Sekolah yang ditetapkan sebagai SBI harus memenuhi Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) dan Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT). Pemenuhan IKKM dan IKKT tersebut adalah untuk memberikan jamninan bahwa sekolah tersebut telah memberikan jaminan mutu pendidikan yang benar-benar bertaraf internasional. Dalam rangka pemenuhan jaminan mutu tersebut, maka Sekolah Bertaraf Internasional dipandang sebagai suatu sistem harus memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam IKKM dan IKKT tersebut yang dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.



Sebagai suatu sistem pendidikan, setiap sekolah harus memenuhi berbagai komponen yang sekaligus menjadi sasaran untuk pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri yaitu terdiri: komponen akreditasi, komponen kurikulum, komponen proses pembelajaran, komponen penilaian, komponen pendidik, komponen tenaga kependidikan, komponen sarana dan prasarana, dan komponen pengelolaan serta komponen pembiayaan pendidikan. Dalam praktik penyelenggaraannya, semua komponen tersebut merupakan obyek penjaminan mutu pendidikan

Penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional yang sekarang dikembangkan oleh pemerintah ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan yaitu sebagai berikut :

a. Era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen dan sumberdaya manusia. Keunggulan teknologi akan menurunkan biaya produksi, meningkatkan kandungan nilai tambah, memperluas keragaman produk, dan meningkatkan mutu produk. Keunggulan manajemen dapat mempengaruhi dan menentukan bagus tidaknya kinerja sekolah, dan keunggulan sumber daya manusia yang memiliki daya saing tinggi pada tingkat internasional, akan menjadi daya tawar tersendiri dalam era globalisai ini.

b. Dalam upaya peningkatan mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan daya saing secara nasional dan sekaligus internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah baik sekolah negeri maupun swasta. Seperti dijelaskan oleh Kir Haryana dalam tulisannya berjudul ”Konsep SBI Pada Jenjang pendidikan SMP”, bahwa Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah telah menetapkan tiga rencana strategis dalam jangka menengah, yaitu: (1) peningkatan akses dan pemerataan dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar, (2) peningkatan mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan daya saing, dan (3) peningkatan manajemen, akuntabilitas, dan pencitraan publik.(Kir Haryana : 2009).

c. Sebagai pelaksanaan berbagai ketentuan peraturan perundangan seperti :

1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 20/2003) Pasal 50 ayat (3) dinyatakan bahwa “pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”;

2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (disingkat SNP); (c) UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 menetapkan tahapan skala prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-1 tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan.

d. Penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan (kreatif, inovatif dan eksperimentatif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan (kreatif, inovatif dan eksperimentatif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus memperhatikan perbedaan kecerdasan, kecakapan, bakat dan minat peserta didik. Jadi, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan potensi intelektual, emosional, dan spriritualnya. Para peserta didik tersebut merupakan aset bangsa yang sangat berharga dan merupakan salah satu faktor daya saing yang kuat, yang secara potensial mampu merespon tantangan globalisasi. Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumberdaya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.

e. Dalam mengaktualisasikan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilaiannya. Maksudnya adalah pembelajaran tidaklah sekedar memperkenalkan nilai-nilai (learning to know), tetapi juga harus bisa membangkitkan penghayatan dan mendorong menerapkan nilai-nilai tersebut (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together) dan menjadikan peserta didik percaya diri dan menghargai dirinya (learning to be).

Respon para penyelenggara pendidikan, baik pemerintah maupun masyarakat untuk merealisasi SBI sangat positif. Pada tahun 2007 rintisan SBI jenjang SMP sebanyak 100 sekolah negeri dan dua sekolah swasta pada 26 provinsi dan 94 kabupaten/kota se Indonesia. Sedangkan pada tahun 2008 jumlahnya berkembang hampir dua kali lipatnya. Sementara itu, untuk SMA telah dirintis lebih dari 200 sekolah baik negeri maupun swasta pada tahun 2008. Besarnya respon masyarakat untuk memanfaatkan SBI maka diperkirakan tahun 2009 ini akan semakin banyak sekolah mengajukan diri menyelenggarakan program SBI.

Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan SBI seperti dikutip oleh Ki Sugeng Subagyo dalam artikelnya berjudul ”SBI Seharusnya Tidak Eksklusif” terdapat dua model penyelenggaraan rintisan SBI, ialah (1) rintisan SBI yang dibina oleh pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, dan (2) rintisan SBI yang dibina langsung oleh pemerintah daerah tanpa pembinaan pemerintah pusat atau disebut dengan rintisan SBI mandiri.(Ki Sugeng Subagyo, 2009).

  1. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Sekolah Bertaraf Internasinal.

Perjalanan sekolah yang telah menyandang sebutan sekolah bertaraf internasional dalam rangka mewujudkan program – program sekolah yang telah disusun ternyata tidaklah seindah yang penulis bayangkan. Banyak hal muncul sebagai kendala yang apabila tidak segera diatasi dengan baik akan membuat kita semua akan merasa khawatir dan ragu apabila sekolah bertaraf internasional yang telah dikembangkan oleh pemerintah ini mencapai sukses.

Berdasarkan pengamatan penulis kendala yang muncul itu terutama terletak pada upaya sekolah untuk merealisasikan syarat-syarat pokok atau sering disebut sebagai Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) dan Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT) sebagaimana telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Munculnya berbagai kendala ini terutama disebabkan oleh beratnya persyaratan – persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga penulis sangat memaklumi apabila kendala tersebut muncul. Sebagai contoh misalnya adanya keluhan seorang guru sebagai guru pendamping dalam praktek pembelajaran di sekolah SBI di Jakarta yang dituangkan dalam sebuah artikel berjudul ” Pengakuan Seorang Guru : Sekolah Bertaraf Internasional Kacau”. Dalam tulisannya beliau mengatakan bahwa ia rasanya mau menangis darah bila menyaksikan pembodohan murid-muridnya oleh ambisi enggak jelas decision maker pendidikan kita. Pengajaran dilakukan oleh satu guru bidang dan satu guru pendamping bahasa Inggris. Pada hari-hari pertama ia masuk di kelas, ia melihat dimana murid-murid dengan antusiasnya berbahasa inggris dengan sesamanya dan dengan para guru. Tetapi lama-kelamaan antusiasme mereka meredup manakala guru-guru bidang (fisika, kimia, matematika, dan biologi) ini tidak dapat merespon dalam bahasa Inggris yang baik. Kalau murid bertanya dalam Bahasa Inggris, maka ia harus menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian guru menjawab dalam bahasa Indonesia yang kemudian di terjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Ia merasa bahwa semua ini dianggapnya sebagai sesuatu yang konyol. Hal demikian berakibat lama-kelamaan anak-anak menjadi malas bertanya dalam bahasa Inggris, karena guru yang mengajar tidak memahami bahasa inggris. Bahkan menurut pengakuannya ada salah satu murid setelah usai pelajaran mengatakan kepadanya , “Bapak dan ibu guru itu sudah deh berbahasa Indoneisa saja, bahasa Inggrisnya enggak becus…kacau…membingungkan…!”

Menyikapi keluhan anak yang demikian ini ternyata menurut pengakuan guru tersebut para guru ini tidak menyadari hal ini. Mereka seringkali mengeluhkan perasaan ketersinggungan mereka ditertawakan murid. Para guru yang sejatinya digugu dan ditiru malah jadi bahan olok-olokan murid, sehingga ia menganggap ini sebagai sebuah dagelan yang sama sekali tidak lucu ini setiap hari, para guru dan murid yang sama-sama frustasi korban ambisi yang tidak jelas.

Hal yang sama juga pernah penulis temukan pada suatu ketika dimana penulis bersama guru – guru yang lain sedang melaksanakan kegiatan studi banding ke salah satu sekolah di Denpasar Bali yang telah mendapatkan presdikat sebagai Sekolah Bertaraf Internasional. Penulis mencoba bertanya pada beberapa siswa kelas IX yang sedang melaksanakan kegiatan di laboratorium komputer. Waktu itu penulis bertanya kepada mereka yang kebetulan sebagai siswa kelas emersi, bagaimana mengenai pelaksanaan pembelajaran di kelas emersi khususnya pada mata pelajaran yang dalam penyampaiannya dilakukan dengan menggunakan bilingual apakah dapat mengikuti dengan baik. Mereka menjawab dapat mengikuti dengan baik hanya komentarnya gurunya saja yang bahasa inggrisnya kacau.

Sekolah Bertaraf Internasional tidak berjalan dengan baik juga pernah dilontarkan Agnes Winarti, (The Jakarta Post, Jakarta: 27 Juni 2008) dalam artikelnya ia mengatakan bahwa sangat meragukan efektivitas dari kelas atau sekolah tersebut. Guru tidak selalu menggunakan bahasa Inggris, dan menjadi bingung sendiri dalam menerangkan segala sesuatu dalam bahasa Inggris. Murid di kelas banyak menggunakan bahasa Indonesia juga. Dan lebih lucu lagi, ada sekolah yang menggunakan uang pangkal yang dibayar oleh orang tua biasa buat anak mereka di kelas biasa malah digunakan untuk renovasi kelas dan penyediaan fasilitas yang digunakan oleh anak di kelas Internasional.Artinya, uang dari supir taksi, sekretaris, satpam, dll (orang biasa), digunakan untuk mensubsidi fasilitas mewah buat anaknya orang yang lebih kaya, yang mendapat kesempatan masuk kelas Internasional.

Masalah berikutnya yang mungkin perlu dipertanyakan adalah apakah SBI ini akan dapat membuat bangsa kita mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara-negara lain? Terhadap pertanyaan tersebut sangat beragam orang berpendapat bahkan Satria Dharma dalam artikelnyaSekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadiz?” (http://satriadharma.com/index.php /2007/09/19/ sekolah-bertaraf-internasional-quo-vadiz/) mengatakan bahwa Jika kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak kekurangan mencolok. Tidak yakin akan menghasilkan kualitas bertaraf internasional, kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas dengan alasan sebagai berikut :

a. Program ini nampaknya tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll tersebut. Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini. Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai “X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Atau mungkin ini sebuah strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur?

b. Dikdasmen membuat rumusan 4 model pembinaan SBI tersebut yaitu :

1) Model Sekolah Baru (Newly Developed),

2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School),

3) Model Terpadu, dan

4) Model Kemitraan.

Pada kenyataannya apabila dilihat sebenarnya hanya ada dua model yaitu Model (1) Model Sekolah Baru dan Model (2) Model Sekolah yang Telah Ada. Dua lainnya hanyalah teknis pelaksanaannya saja. Dari dua model tersebut Dikdasmen sebenarnya hanya melakukan satu model rintisan yaitu Model (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (existing School) dan tidak memiliki atau berusaha untuk membuat model (1) Model Sekolah Baru. Anehnya, buku Panduan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu pada Model (1) padahal yang dikembangkan saat ini semua adalah Model (2). Jelas bahwa sekolah yang ada tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI karena acuan yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian sekolah baru atau Model (1).

c. Konsep SBI ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance- nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogic.

d. Penyusun konsep SBI ini nampaknya juga tidak paham bahwa tidak semua orang (terutama guru PNS!) bisa ‘dijadikan’ fasih berbahasa Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai ilustrasi, bahkan masih banyak guru kita di pelbagai daerah yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar! Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mungkin ‘menyulap’ para guru hard science agar dapat fasih berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500 seperti persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran Rintisan SBI tersebut) meski mereka dikursuskan di sekolah bahasa Inggris terbaik.

e. Penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan materi, pedagogi, apalagi masih struggling in English jelas akan membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas merupakan eksperimen yang beresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah yang sebetulnya merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”. Tidak perlu terlalu cerdas untuk melihat betapa beresikonya program ini. Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri yang diikutkan program ini beresiko besar untuk mengalami kekacauan dalam proses KBM-nya. Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.

f. Kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan asumsi dari penggagas SBI bahwa Sekolah bertaraf internasional itu harus diajarkan dalam bahasa asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka bertaraf internasional. Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan materi hard science dalam bahasa Inggris supaya dapat dianggap bertaraf internasional. Kurikulumnyalah yang harus bertaraf internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan kurikulumnya. Penguatan kemampuan berbahasa Inggris bertaraf internasional bisa dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan terus menerus kepada guru-guru bhs Inggris yang mempunyai beban untuk meingkatkan kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris. Selama ini siswa-siswa kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri tidak pernah diminta untuk mempunyai persyaratan berstandar Cambridge, umpamanya. Jika mereka memiliki tingkat penguasaan yang tinggi dalam bidang studi dan mereka mampu memiliki kompetensi berbahasa Inggris yang baik maka mereka selalu bisa masuk ke perti di luar negeri. Bukankah selama ini mereka tidak pernah ditest masuk dengan menggunakan materi Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dll dalam bhs Inggris? Lantas mengapa mereka harus dilatih sejak awal untuk memahami materi bidang studi tersebut dalam bahasa Inggris (oleh guru yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk itu)? Cara yang lebih mudah sebenarnya adalah mengadopsi GCSE sebagai ujian bagi siswa-yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri tanpa harus mengorbankan begitu banyak sistem yang telah berlaku. Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di Amerika masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat.

g. Kesalahan mendasar lain adalah asumsi dan anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar kecerdasan tertentu. Kurikulum yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah ‘mengkhianati’ SNP itu sendiri karena menganggapnya sebagai ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa cerdas Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga paham yang diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak memilikinya.

h. Dengan program SBI ini Depdiknas memberikan persepsi yang keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan tersebut adalah sekolah yang ‘akan’ menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Dan ini adalah sama dengan menanam “bom waktu’. Banyak sekolah yang jelas-jelas hendak memberi persepsi kepada masyarakat bahwa sekolah mereka telah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dan bukan sekedar ‘rintisan’ lagi. Suatu usaha pembodohan dan pengelabuan dari sekolah kepada masyarakat.

SBI ini merupakan sekolah yang memerlukan biaya yang sangat besar, sehingga tidak semua warga negara dapat mengakses sekolah ini. Hanya anak dari kalangan keluarga yang mampulah yang bisa menikmatinya, sehingga dikhawatirkan hanya akan membentuk kelompok eksklusif di sekolah.

  1. Solusi yang mesti diambil untuk mengatasi kendala yang muncul dalam pelaksanaan sekolah bertaraf internasional.

Berdasarkan permasalahan dan kendala di atas, maka berkaitan dengan pelaksanaan sekolah bertaraf internasional solusi yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut :

a. Pelaksanaan SBI tidak perlu memaksakan kepada guru untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan bahasa Inggris kalau memang kemampuan berbahasa inggris tersebut memamg tidak dimiliki oleh guru di sekolah yang ditetapkan sebagai sekolah bertaraf internasional, tetapi cukup kurikulumnya sajalah yang diupayakan bertaraf internasional.

b. Untuk mewujudkan Sekolah Bertaraf Internasional akan lebih berhasil apabila pemerintah melaksanakan program SBI dengan dipersiapkan lebih awal segala sesuatunya dengan membentuk sekolah baru dan perekrutan guru-guru dan tenaga kependidikan yang baru yang memang dipersiapkan untuk membentuk Sekolah Bertaraf Internasional.

c. Perlu pengkajian yang mendalam untuk membentuk SBI agar pembentukannya tidak mengalami kegagalan seperti yang telah diprogramkan.

d. Untuk menghindari kesan SBI adalah sekolah eksklusif, perlu dipertimbangkan agar semua warganegara bisa mengakses ke sekolah bertaraf internasional terutama untuk anak-anak yang memiliki kompetensi tinggi tetapi secara finansial berasal dari keluarga yang kurang mampu.

e. Perlu dipertimbangkan keberlangsungan pendidikan para siswa yang mengikuti pembelajaran di SBI mulai dari tingkat SD/MI/sederajat, SMP/MTS/sederajat dan SMA/SMK/MA/ sederajat.

PENUTUP

Pelaksanaan Program Sekolah bertaraf Internasional akan berjalan dengan baik yaitu dengan memadukan kurikulum Nasional (KTSP) dengan kurikulum internasional (Cambridge) serta didukung dengan kelengkapan sarana dan prasarana serta SDM yang berkualitas. Pelaksanaan Program SBI yang baik akan berpengaruh baik pula dalam mengembangkan potensi para siswa untuk dipersiapkan dalam rangka menghadapi persaingan di era global.

DAFTAR PUSTAKA

Ki Sugeng Subagyo, ” SBI Sebaiknya Tidak Eksklusif”, http://susub.blogspot.com/, downloud 20 Mei 2009

Kir Haryana,2009, ”Konsep SBI pada jenjang pendidikan SMP”, http://forum-rsbi.net/index.php?page=7, dounwloud 21 Mei 2009

Kir Haryana,2009, ”Indikator SBI”,by admin on April 04, 2009, 01:07:00 PM

http://forum-rsbi.net/index.php?page=9, 21 Mei 2009

Kir Haryana,2009, ”Konsep dan Karakteristik Esensial SBI”,by admin on March 28, 2009, 08:59:00 AM, http://forum-rsbi.net/ index.php? PHPSESSID= 4fb1e0fbf5cd305993106d7f36da3f63& page=6, 21 Mei 2009

Pengakuan Guru: Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) Kacau! http://genenetto.blogspot.com/2008/07/pengakuan-guru-sekolah-bertaraf.html

Satria Dharma, 2007, ”Sekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadis?”, http://satriadharma.com/index.php/2007/09/19/sekolah-bertaraf-internasional-quo-vadiz/, douwnloud 19 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar